Ada pendapat yang mengatakan bahwa hukum
pers yang intinya adalh Undang-Undang Pokok Pers No. 11/1966 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undan No. 4/196 dan Undang-undang No. 21/1982 adalah
undang-undang yang tidak jelek. Secara sepintas mungkin benar, tetapi jika
sesorang membaca secara sungguh-sungguh isi undang-undang tersebut maka akan
terlihat bahwa undang-undang tersebut bersifat mendua. Artinya, undang-undang
itu mengikuti adanya kebebasan per situ sendiri. Hal yang paling mendasar yang
menganggu pers kita adalah prinsip pers yang bebas dan bertanggung jawab yang
dijadikan acuan oleh pemerintah. Disini arti pers yang bebas dan bertanggung
jawab itu cenderung lebuh menekankan aspek tanggung jawab ketimbang kebebasan.
Sama dengan hak asasi manusia yang sangat dibayangi oleh kewajiban bertanggung
jawab karena kita mempunyai rambu-rambu hukum yang luas. Jadi setiap
penyalahgunaan kebebasan selalu dengan mudah dijerat oleh hukum. Tetapi
pemerintah sepertinya tidak menyadari hal ini, malah ingin mengontrol kebebasan
pers dengan segala upaya.
Dalm Undang-Undang Pokok Pers
terlihat bahwa pers mempunyai control, kritik dan koreksi yang bersifat
konstruktif (pasal 3). Lalu terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan
pembredelan (pasal 4). Akan tetapi jangan dikira mudah untuk melaksanakan hak
control, kritik dan koreksi karena tidak jelasnya aturan main. Karena pada
dasarnya kritik itu sering dibungkam, dan mereka yang berprofesi sebagai
pengkritik seirng dicekal dari penerbitan. Tidak salah jika hamper semua
halaman depan surat kabar berisi pernyataan para pejabat, seperti buletin
pemerintah. Tidak berarti tidak ada kritik tetapi disinilah budaya sensor itu
berperan. Pencabutan SIUPP yang meski oleh pasal 4 Undang-Undang Pokok Pers
yang diharapkan menjadi landasan hokum dari kehidupan pers yang bebas dan
bertanggung jawab, secara gambling Undang-Undang Pokok Persnitu justru
melahirkan pers yang sangat hati-hati karena inginnya pers itu bertanggung
jawab. Disinilah pers mulai kelihatan tidak mempunyai kekuatan, walu dari segi
bisnis justru yang terjadi adalah sebaliknya.
Kelihatanya cukup sulit untuk
melepaskan diri dari kondisi obyektif yang kurang kondusif ini, apalagi selain
pemerintah ada pula dewan pers yang diketahui oleh Mentri Penerangan. Tugas Dewan
Pers ini adalah ‘membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional’ (pasal 6).
Lagi-lagi di sini berarti mengontrol dan mengawasi. Dan apbila ini diakitkan
dengan kewajiban untuk memiliki SIUPP, maka amat terang betapa hal ini telah
menjadi “pedang democlaes” yang menghadang pers setiap saat. Jadi pada
prinsipnya, negasi terhadap pers dan kebebasan pers telah dibuat dengan raoi
sehingga sangat sulit untuk berbuat banyak.
0 komentar:
Posting Komentar
tinggalkan komentar